Isnin, 3 Jun 2013

Alkitab di Dunia Modern

BEBERAPA TANDA-TANYA YANG DIAJUKAN BELAKANGAN INI Keadaan yang saya gariskan di atas ini berlaku kira-kira sampai tahun 1960, maka mulai tahun enam puluhan itu iklim teologia mengalami perubahan yang cukup hebat. Pola teologia yang bersifat otoriter, yaitu yang mengutamakan konsep penyataan, dan terutama teologia yang nampak dalam gerakan neo-orthodox, telah kehilangan daya-gerak dan daya-rangsangnya. Apa yang disebut "teologia filosofis bertentangan dengan "teologia Alkitabiah," telah nampak berpengaruh kembali. Ide-ide, yang oleh kaum neo-orthodox dianggap termasuk liberalisme yang sudah usang, sedang diperbincangkan kembali. Kadang-kadang timbullah kesan seolah-olah revolusi keneo-orthodoxan itu dalam bidang teologia tidak pernah terjadi, melihat bahwa begitu banyak prinsip-pokok dari pada gerakan neo-orthodox itu disangkal atau diabaikan. Sebab-sebab perobahan yang demikian itu terletak di luar jangkauan uraian kita ini. Cukuplah kalau saya mencatat di sini beberapa pokok yang merupakan aspek-aspek dari perubahan iklim teologis ini, dan yang mungkin membantu kita melihat beberapa sebab, mengapa perobahan tersebut terjadi. 1. Persoalan-persoalan kritik-historis belum terpecahkan Pokok pertama, ialah perasaan bahwa kita belum sungguh-sungguh mendalami persoalan-persoalan yang dihadapkan pada penyelidikan Alkitab oleh metode-metode riset modern, misalnya metode kritik historis dan metode perbandingan agama. Konsensus yang terdapat pada periode sesudah-perang memang mentoleransi metode-metode penyelidikan yang demikian, tetapi tidak mengijinkan metode-metode itu menentukan soal. Keneo-orthodoxan, kalau dinilai dalam terang keadaan sekarang, agaknya lebih dekat kepada konservatisme Alkitabiah dari pada yang dirasakan oleh para penganutnya pada waktu itu. Pada masa kini banyak ahli teologia beranggapan bahwa semua teknik-teknik penelitian yang ada harus diberi penilaian teologis yang lebih positif dari pada apa yang mungkin diberi di bawah norma-norma keneo-orthodoxan. 2. Betulkah Alkitab harus dibaca sebagai keseluruhan? Kedua, timbul keraguan tentang kemutlakan dari pada prinsip bahwa Alkitab harus dibaca sebagai keseluruhan. Bahkan sekarang ada para ahli yang menekankan bahwa keanekaragaman dan perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam Alkitab merupakan ciri Alkitab yang lebih representatif dibandingkan dengan kesatuannya, bahkan merupakan pedoman yang lebih membantu dalam mencapai makna Alkitab yang sebenarnya. Usaha untuk menjadikan cara berpikir Ibrani sebagai kunci kesatuan Alkitab telah ditinggalkan. Kita telah mencatat di atas ini bahwa ditekankannya Alkitab sebagai keseluruhan, timbul sebagai reaksi terhadap pendekatan analitis. Maka pada taraf berikutnya lagi, menjelang periode sesudah-perang, perhatian para ahli kepada metode-metode penafsiran yang bersifat sintetis, membawa akhirnya kepada sesuatu yang agak mirip dengan harmonisasi yang kolot. Sehingga dalam rangka reaksi berikutnya, para ahli meninggalkan sintese itu dan kembali lagi kepada pendekatan analitis sebagai metode yang rasanya lebih segar. Maka kita menghadapi kenyataan bahwa pada masa kini para ahli memberi penilaian yang berlain-lainan kepada bagian-bagian Alkitab yang berlain-lainan. Perkembangan mutakhir ini cukup nampak dalam bidang Perjanjian Lama. Teolog-teolog neo-orthodox seperti Barth menganggapnya suatu aksioma bahwa Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru merupakan satu kesatuan dalam hal kewibawaannya. Barang siapa yang meragukan prinsip itu menyatakan diri tidak terikat lagi kepada tradisi Kristen yang historis, yang dibangun atas dasar para nabi dan para rasul. Sedangkan pada masa kini kita menghadapi kecenderungan untuk menilai Perjanjian Lama lebih rendah dibandingkan dengan Perjanjian Baru. 3. Reaksi terhadap Berkhotbah secara exegetis Pokok ketiga ialah bahwa di sana-sini pada masa kini muncul reaksi-reaksi yang cukup tajam terhadap prinsip "berkhotbah secara exegetis." Ada seorang tokoh gereja yang berkata begini: "Saya sering berkhotbah tanpa nats, atau malah dengan menggunakan nats dari sumber non-Alkitabiah, misalnya dari Kierkegaard (atau dari surat kabar)."1 Menurut anggapan modern ini, tugas gereja ialah untuk menyatakan dengan tegas apa yang dipercayainya masa kini, bukan untuk menguraikan suatu nats yang dikutip dari dokumen kuna. Gereja tidak dapat berbicara dan tidak pernah berbicara berdasarkan sesuatu sumber kewibawaan di luar dirinya; maka kalau gereja merasa dirinya mempunyai sumber kewibawaan yang demikian, dia hanya seolah-olah menipu dirinya. Pembicaraan Kristen bertolak dari apa yang diyakini orang Kristen masa kini. Maka berdasarkan itulah gereja menganjurkan kepada orang lain, supaya mereka ikut menerima dan mengamini apa yang diyakini oleh gereja kontemporer. Dalam proses komunikasi yang demikian itu maka soal apakah titik-tolak harus berbentuk nats Alkitab sebagai sumber kewibawaan atau tidak merupakan persoalan yang tidak penting. Tokoh yang kita kutip di atas melanjutkan sebagai berikut: "Saya harus mengakui bahwa sikap yang menjiwai khotbah-khotbah saya pada masa kini adalah begini: 'Inilah pengertianku tentang letaknya soal. Apakah kamu juga tidak dapat mengikuti pengertian ini.'" 4. Persoalan-persoalan tentang exegesis di kalangan "oikumenis" a. Reaksi terhadap pendapat bahwa "Alkitab merupakan landasan Kesatuan" Dalam bidang diskusi oikumenis, Dewan Gereja-gereja sedunia telah menjadi sadar akan adanya rasa ketidakpuasan yang cukup tersebar, terutama antara ahli-ahli Alkitab, tentang cara Alkitab digunakan dalam paper-paper (kertas-kertas-kerja) penelitian oikumenis pada periode sesudah-perang. Bahkan pada puncaknya, rasa ketidakpuasan itu mengakibatkan suatu keretakan yang cukup mendalam antara ahli-ahli exegesis dan teolog-teolog oikumenis. Maka adanya keretakan itu merupakan sebab utama, mengapa Dewan Gereja-gereja sedunia memulai suatu penelitian oikumenis yang baru tentang kewibawaan Alkitab. Dokumen penelitian, yang disiapkan untuk merangsang riset itu, dapat dibaca dalam The Ecumenical Review no. 21 tahun 1969 halaman 135-166. Jelas dari dokumen penelitian tersebut bahwa para penyusunnya telah undur dari konsep bahwa hanya Alkitab yang merupakan unsur pemersatu, yang dimiliki bersama oleh gereja-gereja yang masih terpisah-pisah: "Asumsi (anggapan) bahwa semua gereja memiliki Alkitab sebagai milik-bersama, merupakan konsep kabur, sebelum soal kewibawaan Alkitab dijelaskan; dan harapan bahwa usaha-bersama dalam bidang exegesis akan mengantar kita kepada pengertian-bersama tentang kebenaran Kristen, nampak sekarang sebagai harapan yang naif atau sedikit-dikitnya terlampau prematur (gegabah)."2 b. Diskusi tentang metode-metode hermeneutik Salah satu faktor yang agaknya ikut menimbulkan keragu-raguan baru tentang status Alkitab ialah diskusi tentang hermeneutik atau metode-metode penafsiran Alkitab yang berlangsung hangat di kalangan teologis pada tahun limapuluhan dan enampuluhan. Penelitian tentang kewibawaan Alkitab yang dilangsungkan oleh Dewan Gereja-gereja sedunia itupun timbul dari penelitian yang mendahuluinya, yaitu penelitian diskusi mengenai hermeneutik. Karena dengan sendirinya pembahasan tentang hermeneutik menyangkut suatu penelitian tentang konsep kewibawaan Alkitab. Dan secara lebih umum, ditekankannya keanekaragaman dalam metode-metode menginterpretasikan Alkitab agaknya mengurangi harapan bahwa orang Kristen dapat bersandar begitu saja kepada kewibawaan Alkitab. Kalau soal ini dirumuskan secara sederhana, dapat dikatakan demikian: Alkitab memberi kesan yang lain kalau ditafsirkan menurut metode A dibandingkan dengan kesannya kalau ditafsirkan menurut metode B. Kalau demikian, bagaimana Alkitab itu sendiri dapat dianggap sebagai patokan yang menentukan? Tidak usah kita mengejar seluk-beluk diskusi itu: cukuplah kalau kita mencatat sebagai kenyataan historis bahwa diskusi tentang hermeneutik itu agaknya merupakan jalan yang membawa kepada keraguan tentang kewibawaan Alkitab seperti yang nampak di gereja masa kini. 5. Kesimpulan Sementara Ditinjau dari berbagai segi, sebagaimana dibentangkan di atas ini, agaknya kita sudah kembali pada masa kini kepada suatu situasi, dimana status dan nilai Alkitab diragu-ragukan, dibandingkan dengan suasana periode sesudah-perang. Bahkan kita harus menghadapi kemungkinan bahwa keraguan yang kita alami sekarang ini akan menjadi suasana yang permanen. Selama periode, ketika kewibawaan Alkitab itu dijunjung tinggi, orang berkesimpulan bahwa pengakuan akan kewibawaan Alkitab itu merupakan keadaan yang normal, sehingga keragu-raguan tentang status Alkitab itu nampak sebagai suatu gangguan-sementara terhadap keadaan yang normal, keadaan yang sudah lazim. Tetapi pada kenyataannya, keyakinan akan kewibawaan Alkitab itu telah merosot kembali dengan cepat sekali. Maka timbullah pemikiran yaitu bahwa jangan-jangan sebaliknya, yakni keragu-raguan tentang status Alkitab itulah yang menjadi keadaan normal dalam kehidupan gereja modern. 6. Reaksi merupakan fenomena yang terbatas Meskipun demikian, kita harus berhati-hati supaya jangan kita melebih-lebihkan pengaruh sikap kritis terhadap status Alkitab itu. Ada beberapa pokok yang dapat kita catat: a. Fenomena nampak terutama di kalangan yang berbahasa Inggris Pertama, keragu-raguan tentang status Alkitab itu tidak merata di seluruh gereja internasional. Rumusannya yang paling radikal terdapat di kalangan-kalangan yang berbahasa Inggris, baik di Inggris sendiri maupun di Amerika Serikat. Menurut kesan saya, keragu-raguan terdapat juga antara para teolog di Eropa. Tetapi keragu-raguan di situ agaknya berkisar pada soal tentang cara mengartikan kewibawaan Alkitab itu. Sedangkan para teolog di kalangan yang berbahasa Inggris merumuskan pertanyaannya secara lebih radikal. Mengapa kita harus sampai mengaku kewibawaan Alkitab? Mengapa sampai koleksi kitab-kitab kuna ini dianggap lebih berpengaruh atau lebih berwibawa pada jaman modern ini, dibandingkan dengan buku-buku lain? Dan mengapa sampai konsep-konsep Alkitab dianggap lebih menentukan dibandingkan dengan konsep-konsep yang kita peroleh dari sumber-sumber lain, sumber kuna maupun sumber modern, yang tertulis maupun yang lisan? Kalau kita mencari akar-akar bertumbuhnya keragu-raguan yang radikal terhadap status Alkitab ini, mungkin dapat diusulkan yang berikut: Pertama, bahwa filsafat empiris (berdasarkan penyelidikan kenyataan) memang berpengaruh sekali di kalangan-kalangan yang berbahasa Inggris. Kedua, teologia neo-orthodox memang relatif sedikit berpengaruh di beberapa negara yang berbahasa Inggris, terutama di Inggris sendiri. Atau, kemungkinan ketiga, yakni bahwa dapat dikaitkan dengan fakta bahwa tradisi "khotbah exegetis" kurang berakar di gereja-gereja Inggris. Atau kemungkinan lain lagi yakni bahwa mungkin ada hubungannya dengan unsur-unsur kebebasan yang nampak dalam pola ilmu sosiologi yang laku di kalangan-kalangan yang berbahasa Inggris. Tak usah kita pilih salah satu dari antara sebab-sebab yang demikian. Pokoknya, soal yang diajukan ini patut mendapat jawaban yang tepat, biar bagaimanapun latar-belakang kebudayaan yang menimbulkannya. b. Terbatas pada minoritas Kedua, tak usah kita memberi kesan seolah-olah seluruh teologia di kalangan yang berbahasa Inggris telah tiba-tiba memberontak terhadap sentralitas Alkitab. Kesimpulan yang demikian itu sama sekali tak dapat dibenarkan. Kebanyakan teolog yang berpengaruh tidak ikut meragu-ragukan status Alkitab. Ternyata banyak teolog modern melangsungkan tugasnya dengan tidak mempersoalkan status Alkitab sama sekali. Bahkan salah satu kesulitan, yang kita hadapi dalam menyelidiki keragu-raguan mengenai status Alkitab ini, adalah justru bahwa keragu-raguan itu rupa-rupanya tidak mempunyai afiliasi (sangkut-paut) dengan salah satu teologia tertentu yang telah dirumuskan secara teliti. Keragu-raguan yang kita maksudkan ini dikemukakan hanya oleh beberapa ahli Alkitab, dan uraian yang mereka kemukakan itu belum terumus dengan seksama. Namun keragu-raguan itu tokh merupakan sesuatu yang terasa sekali di tengah keanggotaan gereja-gereja yang berbahasa Inggris. Keragu-raguan itu termasuk suasana jaman, suatu kecenderungan yang tersebar luas; maka suasana yang demikian pastilah mempengaruhi juga bagian-bagian besar dalam gereja yang masih mempertahankan sikap yang lebih tradisional terhadap Alkitab. c. Terutama berpengaruh di antara generasi muda Terutama di antara angkatan mudalah terasa keragu-raguan tentang Alkitab ini, termasuk pendeta-pendeta muda dan para mahasiswa. Timbul pertanyaan-pertanyaan seperti: Mengapa kita memberi begitu banyak waktu terhadap penyelidikan Alkitab? Sungguhkah Alkitab begitu relevan bagi kebutuhan kita masa kini? Apakah tidak lebih berguna, kalau kita langsung menyelidiki struktur masyarakat kontemporer, atau kecenderungan-kecenderungan dalam bidang filsafat modern, atau kalau kita ditawari kursus dalam bidang psikologi? Dari segala pihak, kedengaran laporan-laporan bahwa minat mahasiswa-mahasiswa teologia terhadap bidang Biblika sudah merosot, dan bahwa mereka lebih cenderung memilih bidang psikologi atau sosiologi. Kecenderungan yang demikian tidak terbatas kepada kalangan yang berbahasa Inggris saja, bahkan lebih menyolok lagi di beberapa negara di Eropa. d. Bukan penolakan terhadap Alkitab Pendek-kata, kita menyadari bahwa ada keragu-raguan yang sangat mendalam tentang tempatnya Alkitab dalam hidup dan iman gereja masa kini. Namun adalah merupakan suatu keterlaluan kalau kita katakan bahwa perasaan-perasaan yang demikian sampai merupakan suatu penolakan terhadap Alkitab, suatu penyangkalan terhadap nilai Alkitab itu. Memang kaum konservatif barangkali cenderung untuk mengatakan bahwa sikap radikal itu merupakan penolakan atau penyangkalan, tetapi ditinjau dari pihak peragu-peragu itu sendiri, sikap mereka itu terhadap Alkitab bukanlah sikap yang negatif melulu. Karena yang kita hadapi ini bukanlah suatu rumusan doktrin yang "menyangkali kewibawaan Alkitab," melainkan suatu suasana yang samar dan kabur.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan