Rabu, 15 Mei 2013

Sejarah Singkat Kehidupan Barack Obama


Barack Obama lahir pada tanggal 4 agustus 1961 di Honolulu, Hawai. Saat ini tinggal di Chicago, Illinois. Ia bertemu Michelle di tahun 1988 dan menikahinya di bulan Oktober, tahun 1992 dan memiliki dua orang putri yaitu Malia (lahir 1998) dan Sasha (lahir 2001).

Ayahnya bernama Barak Obama, Sr dari Kenya dan ibunya bernama Ann Dunham dari Kansas. Mereka bercerai ketika Obama berusia 2 tahun. Sang ayah menuju Harvard mengejar study ph. D. lalu kembali ke Kenya. Sang ibu menikah dengan Lolo Soetoro dari Indonesia.


Sejarah Singkat Kehidupan Barack Obama
Pada tahun 1967, keluarganya pindah ke Jakarta dan Obama bersekolah di Jakarta dengan bahasa pengantar yaitu bahasa Indonesia. Usia 10 tahun ia kembali ke Hawaii tinggal dengan kakek neneknya dari ibunya, Madelyn dan Staney Dunham.

Setelah SMA, Obama kuliah di Occidental College di Los Angeles selama 2 tahun. Lalu ia pindah ke Columbia University di New York, lulus pada tahun 1983, jurusan political science.

Setelah bekerja di Business International Corporation dan NYPIRG, Obama pindah ke Chicago pada tahun 1985. Obama memasuki Harvard Law School pada tahun 1988. Pada bulan February 1990, ia terpilih sebagai editor pertama African–American dari the Harvard Law Review. Obama lulus magna cum laude pada tahun 1991.

Setelah kuliah hukum, Obama kembali ke Chicago sebagai pengacara, bergabung dengan firma Miner, Barnhill & Galland. Ia juga mengajar di University of Chicago Law School. Dan membantu pemilihan selama kampanye presiden bill Clinton pada tahun 1992.

Obama menerbitkan sebuah otobiography pada tahun 1995: Dreams From My Father: A Story of Race and Inheritance. Dan ia memenangkan sebuah Grammy untuk the audio version of the book. Pekerjaan advokasi Obama membawanya ke Senat Negara Illinois sebagai seorang demokrat. Ia dipilih pada tahun 1996.

Buku keduanya, The Audacity of Hope: Thoughts on Reclaiming the American Dream, diterbitkan pada bulan Oktober 2006.

Mengungkap Rahasia Keluarga Obama

ETIKA Barack Hussein Obama, dambaan presiden baru AS, diterpa tudingan bahwa ia pernah mengikuti pendidikan di sebuah madrasah (sekolah) radikal di Indonesia semasih remaja, tuntutan itu menyebar seperti virus menerjang media dan internet.

Itu merupakan suatu kebohongan – madrasah tersebut sebetulnya lebih religius ketimbang sekolah-sekolah gereja di Inggris – tapi itu juga suatu sinyal bahwa kesempatan Obama memenangkan kursi presiden tergantung pada kisah kehidupan pribadi dan karakternya, demikian The Australian melaporkan.

Pertarungan sedang berlangsung hangat, namun hanya sidikit orang yang tahu tentang senator dari Illinois ini, dan The Sunday Time dapat mengungkap warisan keahidupannya jauh lebih beragam dan mencengangkan daripada apa yang telah diketahui pemilih AS.

Obama, 45 tahun, memiliki dua saudara tiri perempuan, salah satunya bermukim di Inggris, dan lima saudara tiri laki-laki, yang sulung memeluk Islam, dan tak pelak lagi kisahnya kemudian merebak di seluruh dunia.

Tak seorangpun lebih heran mendengar bahwa Obama dilaporkan pernah mengikuti pendidikan di madrasah daripada apa yang telah dirasakan Julia Suryakusuma, seorang teman baik ibundanya hingga ia (ibunya) meninggal akibat kanker ovaria pada 1995.

Suryakusuma, 53 tahun, salah satu penulis wanita Indonesia yang vokal tentang masalah kewanitaan, secara tak gentar melakukan penerbitan tentang tokoh-tokoh Muslim garis keras.

Pekan lalu, Suryakusuma menggambarkan Ann Dunham, ibu Obama, sebagai “seorang liberal dan humanis”, seorang yang giat mempelajari dan berbicara bahasa Indonesia dengan fasih dan menghormati budayanya.

“Ia (ibu Obama) adalah seorang yang sangat menjunjung tinggi berbagai agama, tapi ia sendiri tidak memeluk salah satunya. Ia adalah pemikir yang amat bebas,” demikian Suryakusuma, sembari menambahkan, “Ia seorang pioner dan ketika datang ke Indonesia, ia cukup terpikat dan terpesona dengan budayanya.

Di atas meja kopi di rumahnya yang asri dan modern di Jakarta, penuh dengan hasil kerajinan tangan Indonesia yang selalu memikat temanya, terhampar album foto yang menyimpan kenangan manis.

Itulah Dunham, seorang berwajah agak kepucat-pucatan dan berambut keriting yang merayakan bersama teman-temannya pada pembukaan galeri atau acara minum-minum, dengan memakai pakaian longgar yang sering disukai bohemia wanita Barat di Asia. Senyum di bibirnya selalu merekah.

“Kau tahu, Ann benar-benar berkulit putih,” ujar Suryakusuma sembari melirik foto-foto di album itu, “kendati ia pernah bilang sama saya bahwa ia mewarisi darah Cherokee. Saya pikir, ia mencintai orang-orang kulit berwarna, berkulit coklat.”

Dunham berasal dari Wichita, Kansas, tapi kedua orang tuanya berpindah ke Hawaii untuk mencari kehidupan yang belih menjanjikan.

Menurut Obama, nenek moyangnya memang “seutuhnya berdarah Cherokee.”

Dunham pertama mengawini seorang mahasiswa Kenya, juga disapa Barack Obama, tapi ia (Barack) kemudian meninggalkan orang tuanya dan kuliah di Harvard dan kembali ke Afrika.

Ia kemudian dinikahi Lolo Soetoro, seorang mahasiswa asing lainnya, dan berpindah ke Indonesia bersama Barack, putranya yang berusia enam tahun pada 1967, setelah Soeharto menjadi presiden baru Indonesia.

Soetoro kemudian menjadi konsultan relasi antara Pemerintah Indonesia dan perusahaan minyak raksasa AS.

“Dia berubah ketika kembali datang ke Indonesia,” ujar Suryakusuma. “Orang laki-laki memiliki pendirian teguh ketika berada di Barat, dan di saat mereka kembali ke negara asalnya, mereka pun hanyut dalam budayanya.”

Dalam memoarnya, “Dreams from My Father”, yang diterbitkan pertama kali pada 1995, Obama tidak menyembunyikan kerenggangan hubungan antara ibunya dan ayah tirinya, Soetoro, yang membuat kompromi dengan elit pejabat Indonesia.

Mereka bercerai dan ia (Soetoro) meninggal beberapa tahun sesudahnya akibat penyakit liver.

Dalam usia 10 tahun, Obama kembali ke Hawaii, dan tinggal bersama dengan neneknya sambil bersekolah di sebuah sekolah elit swasta.

Belakangan ibunya kembali ke Indonesia bersama Maya, saudara tiri perempuan Obama yang kini menjadi guru besar di Universitas Hawaii, dan menjadi ahli kerajinan tangan wanita, juga menenun kain yang biasa diproduksi wanita Jawa.

Suryakusuma mengenang bahwa Dunham menyapa putranya dengan “Barry” – Barry dengan irama Indonesia.

“Kami berdua adalah ibu dari anak-anak selalu bercerita tentang sulitnya menjalani kehidupan, terutama di saat bercerai, kendati demikian yang amat diutamannya adalah pendidikan Barry.

Dia pertama kali bertemu Obama ketika ia mengunjungi ibunya sebagai anak dewasa.

“Ia (ibu) amat bangga dengannya. Saya ingat ia (ibu) ketika itu sedang bersinar dengan kebanggaan saat ia (Obama) tercatat sebagai orang hitam pertama menjadi Presiden Harvard Law Review”, kata Suryakusuma.

“Kau tahu, memiliki ibu berkulit putih dengan ayah berkulit hitam dan datang ke Indonesia,“ papar Suryakusuma, “Saya menyaksikan ia memiliki sikap empati dengan warga setempat, seperti halnya sikap sang ibu.”

Warisan multi-budaya menyebabkan adanya jarak antara Obama dengan komunitas Afrika-AS, yang mana membuatnya segan menyapanya sebagai “saudara”.

Komunitas warga kulit putih AS, secara kontras, telah memeluk Obama sebagai suatu penegasan harapan bahwa wajah campuran yang banyak diceritakan orang bisa lebih penting daripada ras.

Dengan nama tengahnya Hussein (seperti Saddam Hussein) dan nama depanya Obama (seperti Osama), ia menjadi figur yang langka dan eksotis dalam kehidupan politik di AS.

“Saya percaya pemilih AS telah siap mendukung pemimpin-pemimpin yang mewujudkan mimpi AS kendati mereka memiliki perbedaan-perbedaan . Dengan begitu, kita mempertegas diri kita sendiri sebagai orang-orang yang toleran”, kata William Galston, peneliti senior tentang kebijakan publik pada Brookings Institute di Washington.

Benar, di sana terdapat rincian kehidupan pribadi Obama yang menjadi subyek penelitian secara cermat. Itu mungkin bukan informasi itu sendiri bahwa bahan-bahan, menurut Galston, tetapi “Bagaimnana Obama berbicara tentang fakta-fakta, seperti mereka memunculkan dan menimbulkan pertanyaan dan kontroversi- kontroversi.

Kolumnis Chicago Sun-Times, Lynn Sweet menyoroti untuk pertama kali pada 2004, ketika Obama mendadak muncul di panggung politik nasional saat konvensi Partai Demokrat, bahwa memoarnya, Dreams from My Father, berisi gabungan karakter dan perubahan nama-nama.

“Kecuali figur-figur publik dan keluarganya, mustahil mengetahui siapa yang nyata, dan siapa yang tidak.

Obama mengakui banyak saat memperkenalkan diri dengan mengatakan dia telah merubah karakter “demi privasi mereka”.

Ibarat membuka rahasia bahwa dia membawa kokain di saat remaja, dia memunculkan dengan jujur tentang wilayah yang potensial menimbulkan kontroversi.

Keluarga Afrika Obama benar-benar mengalami kesulitan. Dalam kehidupan pribadinya, ayahnya tidak pernah meninggalkan Kezia, istri pertamanya, di Kenya.

Dalam perkawinannya dengan Obama Sr, ia melahirkan dua anak, Roy dan Auma, yang kini sebagai pegiat sosial di Berkshire.

Mereka telah bercerai, ibu Obama yang menuntut cerai, namun itu adalah pernikahan bawah tangan yang tidak menggunakan dokumen perkawinan resmi, sehingga tak dapat memenuntut perceraian.

Ayah dan ibunya juga menikah di Hawaii yang mungkin juga tidak memiliki dokumen resmi.

“Bagaimana dan kapan perkawinan itu terjadi menyisakan kemuraman, suatu tagihan khusus yang saya sendiri sulit mengungkapnya, ” tulis Obama dalam memoarnya.

Setelah ayahnya meninggalkan Ann bersama Barack yang berusia dua tahun untuk bersekolah di Harvard, Obama pergi ke Afrika dengan seorang wanita AS lainnya, Ruth, yang menjadi istri ketiganya.

Dia memberinya dua anak di Kenya, salah satunya meninggal dalam kecelakaan sepeda motor, tapi Obama Sr tetap bertahan dengan Kezia.

“Secara tradisi, dia tetap sebagai istrinya,” kata seorang kerabatnya. Kezia pun melahirkan dua anak laki-laki, Abo dan Bernard.

Kendati ayah mereka terlibat cekcok dengan kalangan keluarganya, Obama Sr tetap menaruh hormat sebagai miliknya.

Menjelang akhir hayatnya, ia menjadi ayah dari seorang anak lelaki lainnya, George, beribu seorang wanita muda Kenya.

Setelah kedua orang tuanya berpisah, Obama menyaksikan ayahnya meninggal dalam kecelakaan mobil di Kenya pada 1982.

Saudara laki-lakinya, Roy, berpindah ke AS dan belakangan memeluk Islam.

Obama sendiri menjadi seorang Kristen yang taat ketika dia aktif dalam kegiatan sosial di Chicago. Pertengahan Januari lalu, ia mencela laporan yang menyebutkan bahwa ia adalah jebolan madrasah sebagai apa yang disebutnya “fitnah” yang lucu.

Larry Sabato, guru besar ilmu politik pada Universitas Virginia, percaya bahwa latar belakangan Afrika dan Indonesia yang beraneka ragam dalam kehidupan Obama, bakal menarik perhatian pemilih, terlepas dari kontroversinya.

“Amerika menyukai suatu kisah sukses – generasi baru yang muncul dari dosa dan ketidakberuntungan generasi lama,” kata Saboto.

Di Indonesia, Suryakusuma mengatakan, dia senantiasa merasa hangat atas kenangan yang ditinggal ibu Obama.

“Dia bakal merasa bangga bila ia mengetahui tentang Barry, demikian bangganya untuk memikirkan bahwa anak ciliknya akan bertarung memenangkan kursi presiden AS.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan