Jumaat, 3 Mei 2013

Sejarah Piagam Madinah, Perjanjian Hudaibiyah, dan Piagam Aelia






Saat dunia kembali dibuat pilu dengan terjadinya konflik antara Israel dengan Palestina di Kota Gaza. Banyaknya rentetan konflik berlangsung dari dulu dan mewarnai torehan panjang sejarah umat manusia.berbagai pihak menyebutkan bahwa konflik ini adalah wujud konstentasi Islam, perebutan teritorial, atau sentimentil agama.
Namun apa benar semua itu menjadi pembenaran untuk saling serang? Islam dalam sejarah memang tidak luput dari dinamika konflik dari dinamika konflik dan perang. Rasul pun dikenal sebagai pemimpin perang dalam memperjuangkan tauhid. Namun Rasul juga mencatat berbagai kisah penjanjian damai yang diinisiasi oleh Rasulullah dan para sahabat.
Seperti yang bisa kita lihat dalam “three peace agrement” bersejarah berikut ini:

Piagam Madinah
Piagam Madinah (Al-Sahifah, Al-Madinah, atau Mithaq Al-Madinah) merupakan karya monumental kepemimpinan nabi muhammad SAW di kota Madinah. Lahirnya piagam ini pun tidak luput dari momentum hijrah Rasul dari Makkah ke Madinah. Pada tahun 622 M. Setelah berhijrah Rasul mulai membangun peradaban Madinah dengan serangkaian langkah dan kebijakan penting seperti membangun masjid sebagai pusat peradaban, mempersaudarakan umat muslim Anshar dan Muhajirin, serta satu kebijakan beliau yaitu memaklumatkan Piagam Madinah. Piagam Madinah mempunyai kekuatan konstitusional dalam bentuk perjanjian formal antara beliau sebagai representasi umat muslim dengan seluruh penduduk Madinah yang bertujuan enghentikan perseturuan antar-bani (suku) karena penduduk Madinah terbagi dalam 4 kelompok yaitu umat Muslim Muhajirin yang berhijrah dari Makkah, Kelompok Anshar yakni penduduk Muslim pribumi Madinah, lalu kelompok pemeluk Yahudi yang secara garis besar terdiri atas beberapa suku; Qainuqa`, Nadhir, dan Quraizhah. Yang terakhir ialah komunitas pemeluk tradisi nenek moyang atau penganut paganisme (penyembah berhala).

Piagam Hudaibiyah
Perjanjian damai Rasulullah ini juga menjadi sejarah penting karena perjanjian ini terjadi antara Rasulullah sebagai pemimpin Madinah dengan Suku Quraisy, penguasa Makkah. Konflik yang disebabkan terhalangnya umat muslim Madinah yang hendak berhaji oleh kaum Quraisy. Lalu perjanjian tersebut menghasilkan beberapa isi perjanjian:
1. Kedua belah pihak setuju untuk mengadakan gencatan senjata
2. Barangsiapa dari kaum Quraisy yang tidak seizin walinya menyeberang ke pihak Rasulullah, maka ia harus dikembalikan kepada mereka
3. Barangsiapa dari pengikut Rasulullah menyeberang ke pihak Quraisy, ia tidak akan dikembalikan kepada Rasulullah
4. Barangsiapa dari masyarakat Arab di luar perjanjian mengadakan persekutuan dengan Rasulullah, maka hal itu diperolehkan; dan barangsiapa dari masyarakat Arab di luar perjanjian mengadakan persekutuan dengan pihak Quraisy, hal itu juga diperbolehkan
5. Nabi dan kaum Muslimin harus kembali ke Madinah dengan ketentuan akan kembali ke Makkah pada tahun berikutnya dengan syarat mereka tinggal selama tiga hari di Makkah dan senjata yang dapat mereka bawa adalah pedang yang tersarung.

Piagam Aelia
Piagam Aelia juga mempunyai peran penting dalam menciptakan stabilitas politik dan perkembangan Islam di Aelia kala itu. Lalu nama Aelia berganti menjadi Al-Quds pada masa kekuasaan Abbasiyah. Persentuhan Islam di kota ini terjadi setelah Isra mi’raj Nabi dari Makkah ke Palestina ketika pada abad ke-15 H, Khalifah Umar bin Khattab memasuki kota tersebut. Penguasa Aelia saat itu secara khusus meminta Umar membuat perjanjian serah terima kota, perjanjian Aelia sering disebut juga sebagai konvensi Umar pada 20 rabi’ul amal 15 H. Isi perjanjian Aelia adalah pernyataan politis penguasa kepada wilayah kekuasaannya utnuk memberikan jaminan keamanan harta dan jiwa, jaminan kebebasan beragama, dan kewajiban membayar pajak.
Ketiga perjanjian ini adalah contoh nyata tentang Islamic Peace Agrement, bahwa dakwah Islam tidak identik dengan peperangan.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan